Saya bukanlah seorang ahli matematika. Meski begitu,
bukan berarti tulisan ini dituliskan tanpa dasar sama sekali. Saya pernah
mempelajari beberapa hal terkait perkalian dan pembagian dalam ilmu matematika,
(dan saya yakin begitupun dengan Anda). Namun, kaitannya dengan realita dunia
nyata adalah murni hasil pemikiran dan pengalaman saya sendiri. So, jika
sepanjang tulisan ini terdapat hal – hal yang kurang tepat dan sangat tidak
empiris mohon kiranya untuk jangan sungkan – sungkan mengkritisi dan mengkoreksinya.
Semua ini berawal sejak beberapa
tahun yang lalu, ketika saya duduk di bangku SMA. Saya mendapati sebuah
pertanyaan yang, entahlah, saya tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat
untuk mendeskripsikan pertanyaan ini karena butuh bertahun-tahun bagi saya
untuk menemukan jawabannya.
“jika kamu menggunakan cara yang salah untuk
menyelamatkan anakmu, apakah itu menjadikanmu seorang ibu yang buruk?”
Pertanyaan
ini saya dapati dari sebuah novel berjudul “My Sister’s Keeper”. Untuk yang
belum pernah membacanya, saya merekomendasikan sekali untuk membacanya. Membaca
ya, bukan menonton, karena novel dan film memiliki jalan cerita yang cukup
berbeda. Mungkin saja jika anda membacanya anda akan menemukan kebimbangan
jawaban terhadap pertanyaan tsb layaknya diri saya.
Ok, kembali ke inti permasalahan. Hal pertama yang
membuat saya bimbang terhadap pertanyaan itu adalah mungkin karena saya seorang
wanita. Pada awalnya, saya ingin menjawab ya, itu sangat buruk karena saya
merasa sangat sedih dan kasihan sekali terhadap Anna (tokoh utama dalam novel
tsb). Bagaimana mungkin seorang ibu tega memperlakukan anaknya sendiri, darah
daging sendiri, dengan cara seperti itu? Sungguh diluar nalar saya sebagai
sorang siswa SMA kala itu. Namun semakin saya melanjutkan membaca, saya
mendapati sisi lain dari diri saya dimana saya juga merasa kasihan dan sangat
tidak tega jika berada diposisi sang Ibu; Ibu tersebut mengumpakan dalam sebuah kebakaran besar, salah satu anakmu
terjebak, kau ingin sekali berlari kedalam untuk menyelamatkannya, namun itu
tidak mungkin karena celah api hanya bisa dimasuki oleh anak – anak, bukan
orang dewasa. Apakah kau hanya berdiam diri dan membiarkan satu anakmu menjadi
korban didalam sana sementara kau tau bahwa anakmu yang lainnya bisa saja
berlari kedalam dan menyelamatkannya? Berhenti di poin tersebut dan saya menarik kembali semua justifikasi
saya terhadap perilaku sang ibu.
Bertahun – tahun saya tidak dapat melupakan pertanyaan
itu, selalu teringat dan penasaran akan jawabannya. Iya juga ya? Bagaimana jika,
pada suatu momen yang tidak pernah disangka – sangka, diri ini dihadapi dengan
posisi sulit semacam itu? Bagaimana jika suatu saat nanti, ada hal – hal yang
sebenarnya berujung pada kebaikan namun tidak ada hal baik yang dapat
mengantarkannya kesana? Hanya ada jalan yang salah, jalan yang buruk, jalan
yang tidak/kurang tepat untuk mencapainya. Apakah itu akan dihitung sebagai
sebuah kesalahan/keburukan? Meskipun pada akhirnya nanti adalah sebuah kebaikan
yang dituju, tidak lain dan tidak bukan, hanya demi kebaikan semata. Apakah tetap
tidak diperkenankan?
Saya berhenti dititik itu karena saya tidak tahu
bagaimana harus menjawabnya. Saya hanya terus memikirkannya tentang apa jawaban
terbaik dari pertanyaan itu (sebenarnya saya cukup kesal dengan penulisnya,
kenapa dirinya menaruh pertanyaan semacam itu tepat di cover depan novel tsb,
membuat pembaca, atau saya lebih tepatnya, terus terngiang – ngiang dan
penasaran saja).
Sampai akhirnya menjelang ujian nasional try out dan
semacamnya. Saya sering kali terjebak dengan jalan cerita soal yg disajikan
meskipun secara logika sudah benar. Jadi, pada waktu itu salah satu guru saya
mengajarkan untuk memenggal soal dan mengghubungkannya dengan pernyataaan
positif, negatif. Jika dua penyataan yang disajikan di soal berbeda, maka
jawaban yang diminta pastilah negatif. Namun sebaliknya, jika kedua pernyataan
sejenis, maka jawaban yang diminta pastilah pernyataan positif. Sebenarnya saya
sudah lupa dengan metode ini karena ini sudah bertahun – tahun yang lalu lamanya.
Namun dengan metode itu, hasil try out saya berhasil meningkat. Mungkin jika
saat ini saya dihadapkan dengan contoh dan tipe soal yang sama, sedikit banyak saya
masih bisa menerapkannya, but I forget and can’t found one. So just skip this. Pada
titik ini saya masih belum terpikirkan kaitan antara pertanyaan pada novel My
Sister’s Keeper dengan persamaan matematika sederhana (i.e perkalian/pembagian
positif negatif). Sampai kembali pada suatu hari, dalam sebuah pelajaran
matematika di SMA. Kala itu kami mempelajari bab logika; premis jika, maka, jika
dan hanya jika dsb. Pada waktu itu guru kami bukanlah guru biasa, how to say
this, I mean, beliau tidak suka dengan soal – soal biasa yang ada dibuku. Beliau
senang sekali berekperimen dengan soal – soal yang menantang. Jadi, pada bab
logika kali ini, kami diberi soal tentang pemecahan masalah kasus persidangan
di sebuah pengadilan, dan ya, kami harus dapat menyelesaikannya dan menemukan
kebenaran dengan menggunakan rumus – rumus logika matematika. Alibi korban,
pelaku, saksi, dan pernyataan – pernyataan lainnya. Semua harus diselesaikan
dengan logika matematika. Seru? Tentu saja, sangat menantang, karena ini
kaitannya dengan hidup mati kami (re:nilai), tetapi, bukan itu yang menjadi
sorotan utama saya. Kata – kata beliau-lah yang pada akhirnya berhasil
membangunkan cara berpikir kami semua, termasuk saya.
“jika semua permasalahan di dunia ini dikaitkan dengan
rumus matematika, tidak mustahil sesungguhnya untuk menemukan sebuah kebenaran. Matematika kehidupan; perhitungan tidak hanya
dilakukan untuk menjawab soal – soal yang ada dibuku tetapi untuk menjawab juga
persoalan – persoalan yang muncul dalam kehidupan di dunia nyata”
And
I just got speechless at that time.
Sampai dititik itupun saya masih biasa saja atau belum
terpikirkan apa – apa lebih tepatnya. Sampai akhirnya disuatu masa ketika saya
sudah lulus SMA, saya teringat kembali dengan pernyataan itu, pertanyaan yg
sempat menghatui saya selama beberapa waktu ketika saya di SMA. Pertanyaan yang
bersal dari cover novel My Sister’s Keeper. Lagi – lagi, pada waktu itu saya
masih hanya sebatas teringat dan terpikir saja; sudah selama ini saya masih
belum juga mendapatkan jawabannya. How’s it My God? Sampai pada akhirnya saya
teringat kembali dengan dua kejadian ketika saya SMA. Kejadian yg saya sudah sebutkan
diatas. Kejadian tentang menyelesaikan persoalan dengan rumus matematika. Persoalan
yang tidak hanya muncul di buku soal saja, tetapi juga di dunia nyata. Dan saya
pun mencoba mengaplikasikannya pada pertanyaan tsb. Begini kira – kira perhitungannya.
Jika
kamu menggunakan cara yang salah (-)
Untuk
menyelamatkan anakmu (+)
Apakah
itu menjadikanmu sorang ibu yang buruk?
Jawab:
+ (x) - = - (negative)
Jika
saya mengerjakannya menggunakan rumus perkalian matematika, jawaban yang didaat
adalah negative. Maka, jika boleh saya menginterpretasikannya kedalam
pernyataan tersebut, apakah cara itu menjadikanmu seorang ibu yang buruk atau
tidak. Maka jawabannya ya, benar. Dengan berat hati akan saya katakana bahwa
cara yang salah tersebut, menjadikan sesuatu yang tidak baik/negatif lainnya.
Atau dengan kata lain, tidak ada hal
baik yang didapatkan dengan cara yang tidak baik, sama halnya dengan sebuah
pernyataan matematika sederhana dalam perkalian dan/atau pembagian; sampai
kapanpun, tidak akan pernah didapatkan bilangan positif jika kedua bilangan
yang disatukan mengandung unsur yang berbeda (i.e postif dan negatif). Sebuah bilangan
positif hanya akan bisa muncul jika keduanya sejenis.
Sebagian Anda mungkin akan berpendapat bahwa kenapa
memilih perkalian/pembagian, kenapa tidak add, plus, minus? Why? ya, saya pun
sempat terpikirkan hal semacam itu, tetapi bukankah pernyataan add, plus, minus
adalah sebuah kalimat matematika yang sangat sederhana. I mean, those are the
things that we first learnt dan hasilnya pun akan mutlak. Ambil contoh, sebuah
gelas yg berisi air kotor, jika terus-menerus disikan air jernih, maka lama
kelamaan air dalam gelas tsb akan jernih dengan sendirinya. Sebuah bilangan/kejadian
positif dalam jumlah besar akan meniadakan negative. Pun sebaliknya sebuah
bilangan/kejadian negatif jika terus menerus ditambahkan negative akan menjadi
semakin negative? See what I mean? Plus and minus is just the matter of linier
thing. Berbeda dengan perkalian/pembagian yang menunjukan cara, how things
work. Ingat dengan pelajaran peluang/probabilitas/kemungkinan? Cara yang
digunakan dalam memperhitungkan sebuah peluang adalah dengan mengalikan berapa
banyak kejadian yang terjadi dengan harapan munculnya sebuah kejadian
(frekuansi harapan, ruang sample, dsb2 itu, I’m not really good at math, teman –
teman yang berasal dari Department of Science mungkin akan lebih bisa
menjelaskannya secara tepat) but, seperti itulah kurang lebihnya, alasan kenapa
saya pada akhirnya memilih perkalian dan pembagian sebagai basis penulisan
konten tidak ilmiah didalam blog saya ini. Karena perkalian/pembagian menunjukan
cara how things work. *cmiiw
Kemudian, kurang lengkap rasanya jika saya hanya
mendasarinya berdasarkan rumus matematika sederhana hasil pemikiran saya yang
belum tentu jelas kebenaran dan keterkaitanya dengan pernyataan yang sudah saya
bahas sepanjang ini. Maka, saya pun akan mencoba memambahkan bahasannya melalui
kacamata kepercayaan yang saya anut selama ini.
Saya bukanlah ahli agama, saya masih jauh dari kata
sempurna dan tentu saja masih butuh banyak belajar lagi. Tapi setidaknya jika
mengaitkannya dengan pertanyaan di cover novel My Sister’s Keeper, saya
terpikirkan dengan beberapa ilmu yang pernah diajarkan guru – guru serta
pembimbing saya.
Pertama, bahwa dalam kepercayaan yang saya anut,
dikatakan bahwa sesungguhnya setiap insan akan dimintai pertanggung jawaban terhadap
semua hal yang dilakukan, sebesar debu-pun takkan terlewatkan. Maka,
berlandaskan pernyataan tsb saya mengambil kesimpulan bahwa terlepas dari
apapun akhirnya, jika itu keburukan, tetaplah keburukan dan patut untuk
dipertanggung jawabkan. Karena it’s not only about the result, but also the
process. Pastikan prosenya baik agar hasil akhirnya pun semakin baik.
Kedua, saya pernah membaca sebuah kisah tentang
pengobatan zaman dahulu. Namun, dalam kisah tsb diceritakan bahwa pd waktu itu hanya ad acara yang tidak halal
untuk mengobatinya. Maka, turunlah sabda bahwa sesungguhnya semua penyakit ada
obatnya, namun Tuhan tidak akan pernah meletakkan kesembuhan/obat pada cara yang
tidak baik (haram). Kurang lebih seperti itulah inti dari kisah tersebut. Dan darisitu
saya semakin yakin bahwa sesungguhnya, Tuhan-pun tidak menghendaki jika demi sebuah kebaikkan
harus ada cara – cara yang tidak baik yang harus ditempuh atau dilalui. Sebuah kebaikkan
pada hakikatnya harusnya dicapai dan diraih dengan cara – cara yang baik pula. Jika cara mendapatkanya tidak baik, saya ragu untuk
tetap bisa menyebutnya sebagai sebuah kebaikkan setelah rumus matematika
bekerja dan kepercayaan yang saya anut memiliki juga sabdanya. Bagaimana dengan
Anda? Masihkan percaya dan yakin dengan adanya “Dosa Putih”? white sin? You
know, dalam ilmu psikologi (yang membahas tentan kejujuran/kebohongan) terdapat sebuah istilah yang diebut dengan white lies? Terminologis White sin kurang lebih sama dengan White lies itu sendiri.
Sebagai kata – kata penutup, saya mengutip sebuah
pernyataan dari film yang saya lupa judulnya apa, tapi kurang lebih seperti
inilah bunyinya “You know what really sucks about doing something you
know you’re not right for? You do it anyway!”
Pada akhirnya, setelah melaui perjalan tahunan yang
cukup panjang, saya dapat menjawab perntanyaan yang tertera di cover depan
novel My Sister’s Keeper. The answer is, according to me, yes, it ain’t good
Miss. Jika itu tidak baik, seharusnya, janganlah dipaksakan, karena saya
percaya, Tuhan hanya akan meberikan apa yang kita butuhkan, sesuatu yang
terbaik menurut-Nya, bukan apa yang kita inginkan. Sesuatu yang menurut manusia
baik, belum tentu baik menurut-Nya Cause God works in a really amazing way that
none ever expect.
I
think that’s all from me.
A
note for an-end-year-self-reflection
See
yaa, and Gnight!
Jakarta
11:11PM - 27/12/16
PS:
tambahan tentang landasan kepercayaan dan keagamaan adalah murni juga
berdasarkan ajaran didalam kepercayaan yang saya anut. Untuk teman – teman yang
memiliki keprcayaan yang berbeda bisa mengaitkannya dengan kepercayaan masing –
masing dan/atau bahkan menghilangkan argument saya tsb. Main argument of this
paper is actually on the mathematical formula with the real life situations and
conditions.
No comments:
Post a Comment